Hijrah sebagai Titik Tolak Peradaban: Refleksi atas Awal Penanggalan Islam
Oleh: Moh. Syahlan, S.Pd.I., M.Ag. Guru Akidah Akhlak MAN 5 Bogor

By Jubaedah Syu\\ 25 Jun 2025, 20:19:36 WIB Zona Integritas
Hijrah sebagai Titik Tolak Peradaban: Refleksi atas Awal Penanggalan Islam

Keterangan Gambar : Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1447 H, Damai Bersama Manusia dan Alam


Parung Panjang, 25 Juni 2025 - Ketika para sahabat Rasulullah saw. pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a. bermaksud menetapkan kalender resmi bagi umat Islam, mereka tidak serta-merta memilih waktu yang bersifat simbolik belaka. Mereka berdiskusi dengan hati-hati dan mendalam, mempertimbangkan berbagai momen penting dalam kehidupan Rasulullah saw. Ada yang mengusulkan agar perhitungan tahun dimulai dari kelahiran Nabi saw., sebuah peristiwa agung bagi umat manusia. Namun usulan ini tidak diterima, sebab kelahiran beliau, meskipun penuh makna, secara lahiriah tidak berbeda dengan kelahiran manusia lainnya.

Usulan lain mengarah pada peristiwa monumental: Fathu Makkah, yaitu ketika Nabi saw. berhasil merebut kembali kota kelahirannya dengan kemenangan yang gemilang. Namun, peristiwa ini pun tidak dijadikan tonggak awal. Para sahabat menyadari bahwa kemenangan bisa mengandung jebakan psikologis: rasa cukup, puas diri, dan kecenderungan untuk berleha-leha. Sementara Islam tidak mengajarkan umatnya untuk terlena dalam keberhasilan, melainkan untuk senantiasa bergerak, berjuang, dan menatap masa depan dengan tekad yang menyala.

Akhirnya, dengan pertimbangan matang dan jiwa yang jernih, para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah Nabi saw. dari Mekkah ke Madinah sebagai titik awal kalender Islam. Sebuah keputusan yang bukan hanya cerdas secara historis, namun juga mengandung makna spiritual dan sosial yang mendalam. Sebab dalam hijrah, terkandung nilai-nilai fundamental yang menjadi fondasi kehidupan Islami: perjuangan, pengorbanan, visi, serta pembentukan masyarakat beradab dan berkeadilan.

Baca Lainnya :

Hijrah adalah bukti bahwa mempertahankan akidah bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan jiwa. Nabi saw. meninggalkan kampung halaman, sanak keluarga, dan semua kenyamanan duniawi demi menjaga kemurnian iman dan membuka ruang bagi tegaknya kebenaran. Dalam konteks ini, hijrah bukanlah pelarian, tetapi transformasi. Ia adalah langkah sadar untuk keluar dari ketertindasan menuju kebebasan spiritual dan sosial.

Lebih jauh, hijrah mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang memerlukan tekad, keberanian, dan harapan. Di balik hijrah, ada luka dan perpisahan. Namun di depannya, ada pertemuan dan persaudaraan. Ada kota baru, masyarakat baru, dan peradaban baru yang dibangun di atas nilai-nilai tauhid, keadilan, dan kasih sayang.

Oleh karena itu, menjadikan hijrah sebagai awal penanggalan Islam bukanlah semata-mata mengenang sejarah, tapi menghidupkan semangatnya dalam denyut nadi umat Islam sepanjang zaman. Sebab hidup ini adalah perjalanan yang tak henti menuju kebaikan. Dalam setiap langkah, kita pun terus berhijrah: dari gelap menuju terang, dari malas menuju semangat, dari lalai menuju sadar, dari ego menuju pengabdian.

Hijrah adalah panggilan jiwa untuk tak pernah diam dalam kebenaran. Ia mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki kesempatan untuk berubah, bangkit, dan menata hidupnya kembali—asalkan memiliki keberanian untuk meninggalkan zona nyaman dan membuka diri terhadap cahaya Ilahi.

Dengan menjadikan hijrah sebagai permulaan kalender Islam, para sahabat telah mewariskan kepada kita bukan hanya sistem penanggalan, tapi juga pesan moral yang abadi: bahwa perjuangan adalah nafas hidup, bahwa optimisme adalah suluh dalam gelap, dan bahwa iman adalah kekuatan utama dalam membangun peradaban.

Maka, marilah kita terus berhijrah—dalam makna yang paling dalam. Sebab hijrah bukan sekadar berpindah tempat, tetapi berpindah jiwa. Dan hidup, sejatinya, adalah hijrah yang tak pernah usai.

Selamat Tahun Baru 1 Muharam 1447 H.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment